Selasa, 07 Desember 2010

POTRET KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER

POTRET KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER
(Kajian atas Lembaga Pendidikan di Jawa Barat)
Dr H Dindin Jamaluddin M Ag
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung


A. PENDAHULUAN: TENTANG MADRASAH DAN PESANTREN

Memperbincangkan madrasah kerap kali disandingkan dengan Madrasah Nidzamiyah di Baghdad. Lembaga pendidikan tersebut menjadi prototype madrasah di dunia muslim. Kemasyhuran Madrasah Nidzamiyah dapat diakui oleh peradaban dunia, karena –disamping faktor lainnya- keberpihakan penentu kebijakan (pemerintah) terhadap peningkatan dan pengembangan lembaga tersebut sangat signifikan. Secara tidak langsung, langkah-langkah tersebut membentuk Madrasah Nidzamiyah menjadi bagian penting dari peradaban dunia pendidikan -Islam khususnya-.
Keberpihakan terhadap dunia pendidikan, memberikan arti penting terhadap peradaban manusia. Telah banyak dibuktikan, bahwa kualitas kesejarahan umat atau manusia akan ditentukan oleh sejauhmana pendidikan memberikan nilai keberhasilan pendidikan dalam sejarah manusia itu sendiri. Maka, tidak mengherankan, jika tingginya peradaban di belahan bumi ini, ditentukan oleh sejauhmana political will serta concern terhadap pendidikan.
Berdasar pada penelitian terakhir dari Hasan Ibrahim Hasan dan Richard Bulliet, disampaikan bahwa Madrasah Nidzamiyah bukanlah Madrasah yang pertama kali hadir dalam lembaran sejarah pendidikan Islam. Di belahan dunia lain, khususnya di Nisyapur, India telah banyak berkembang lembaga pendidikan dengan istilah madrasah, salah satunya adalah Madrasah Bayhaqiyyah. Hasil penelitian tersebut, tidak saja memberikan nuansa baru dalam perbincangan tentang madrasah. Lebih dari itu, akan memulai kajian-kajian baru yang lebih mendalam mengenai madrasah itu sendiri.
Mengenai hal tersebut, Azra mengusulkan harus ada kajian lain tentang madrasah. Asalnya pembahasan mengenai madrasah masih berkutat pada deskripsi dan uraian yang cenderung ensiklopedik dan naratif. Yakni lebih banyak menggambarkan hal ihwal yang berkaitan dengan data-data semata. Selanjutnya, perlu digunakan pendekatan baru yang lebih luas, analitik dan interpretatif. Pendekatan itulah yang Azra sebut sebagai pendekatan sejarah sosial pendidikan Islam. Dengan pendekatan ini, yang dibahas tidak hanya entitas madrasahnya semata. Lebih dari itu, hal ihwal yang berkaitan erat baik langsung maupun tidak langsung perlu menjadi entri point penelitian tentang madrasah.
Dalam lingkup pendidikan di Indonesia yang “masih” dua atap. Tanggung jawab madrasah memang terasa berat. Satu sisi ia harus menjadi bagian dari pendidikan keagamaan yang merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, yang eksistensinya disebutkan dalam pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 1989: "Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan". Bahkan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) ditetapkan juga sebagai pelaksana program wajib belajar setingkat SD/SLTP, sedangkan Madrasah Aliyah (MA) sebagai SMU. Dan di sisi lain, madrasah juga berfungsi sebagai pelaksana pendidikan dasar dan menengah umum, yang berarti harus mengajarkan bahan kajian sama dengan sekolah umum. Hal itu dimulai sejak adanya SKB 3 Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) tahun 1975. Kemudian SKB ini dikuatkan lagi dengan PP No 28 tahun 1990, SK Mendikbud No 0487/U/1992 dan No 054/U/1993. SK-SK ini ditindaklanjuti dengan SK Menag No 368 dan 369 tentang penyelenggaraan MI dan MTs.
Pendeknya, tujuan yang dihadapi oleh madrasah seperti menjemput “impian”. Tidak saja bagaimana mempertemukan “dua” kutub yang selama ini berada pada tempatnya masing-masing, yakni ilmu agama dan ilmu umum. Hal yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan generasi-generasi yang berkarakter. Pertanyaan retoris dari Azra adalah, apakah asa itu realistis dan viable bagi madrasah?
Pembahasan selanjutnya adalah tentang pesantren. Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad, Nurcholis Madjid menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi.
Untuk meringkas bahasan tentang pesantren yang dikaitkan dengan judul makalah ini, penulis kutip pernyataan dari Ketua PB NU Said Aqil Siradj, yakni:
Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dalam jangka panjang, pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dari pada masyarakat di sekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri mengorbankan identitas dirinya. Pola pertumbuhan di hampir setiap pesantren menunjukkan gejala kemampuan melakukan perubahan total itu.
Kebebasan relatif pondok pesantren dari intervensi eksternal dalam skala besar telah memberikan ruang untuk melakukan transformasi yang dibutuhkan bagi eksperimentasi dengan ide-ide dan gagasan para pemikir. Kebebasan relatif hasil dari keterampilan pesantren untuk merespons metode konstruktif dari tantangan eksternal seperti sistem sekolah Barat, adalah situasi otonomi yang diberikan oleh pesantren dan cukup fleksibel dalam rangka memelopori konsep pendidikan baru. Dalam perspektif kebudayaan, melaksanakan peraturan pelengkap dengan kesadaran ideologis memberikan landasan kuat untuk transformasi sosial yang fundamental dan dibutuhkan oleh negara di masa depan.











B. PENDIDIKAN KARAKTER

Belakangan ini, kajian tentang civil society dan keresahan pendidikan Nasional merupakan wacana yang sedang hangat dibicarakan. Slogan demi slogan yang dikumandangakan mencoba mengacu pada cita-cita untuk membangun ”Indonesia Baru”. Lalu bermunculanlah berbagai bentuk konsep untuk membangun cita-cita yang dimaksud. Dengan arus globalisasi sekarang ini, madrasah di Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan yang begitu besar. Tantangan tersebut acap kali berimplikasi pada pergeseran nilai-nilai keagamaan ataupun nilai-nilai kebudayaan yang telah eksis di tengah-tengah masyarakat.
Tanggal 2 Mei 2010 yang lalu, Mendiknas RI mendeklarasikan dimulainya pendidikan karakter bangsa. Mencuatnya gagasan tersebut, tentu saja bukan merupakan ide instant, melainkan bagian dari proses panjang keresahan atas fenomena-fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Yang menjadi kekhawatiran adalah bukan fakta di level akar rumput, lebih dari itu yang lebih ironis ialah di tingkat elit. Notabene mereka dalah orang-orang yang mendapatkan pendidikan tinggi, tapi jauh dari apa yang diharapkan dari tujuan mulia pendidikan itu sendiri.
Ahmad Tafsir merespons deklarasi pendidikan karakter bangsa itu dengan pernyataannya bahwa momentum itu, harus disambut dengan penuh antusias. Tafsir menambahkan, agar deklarasi itu mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, yaitu memperbaiki karakter orang Indonesia, dan hendaknya deklarasi itu tidak sekedar deklarasi, bukan sekedar mengingatkan, deklarasi itu harus diikuti oleh pencanangan perubahan paradigma, yaitu berpindah dari paradigma bahwa pendidikan akhlak hanya oleh guru agama dan PKn ke paradigma bahwa pendidikan karakter itu adalah tugas semua aparat yang terkait dengan murid.
Terminology karekter itu sendiri perlu diproporsikan dengan tepat, karena kerap terjadi kekisruhan. Menurut Fuad Wahab tidak sedikit yang mengatakan bahwa istilah karakter sama dengan istilah akhlak dalam pandangan Islam. Dalam berbagai kamus; karakter (character) dalam bahasa Arab diartikan: khuluq, sajiyyah, thab’u, yang dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan; budi pekerti, tabiat dan watak. Ada juga yang mengartikan sebagai syakhshiyyah, yang lebih dekat pengertiannya kepada personality yang merupakan kumpulan dari berbagai aspek.
Selanjutnya Fuad Wahab menjelaskan karakteristik akhlak Islam punya, di antaranya:
1. Al-khairoh al-muthlaqoh. Perbuatan kebaikan yang terhindar dari ego perorangan, tidak mengunggulkan sebagian manusia dari yang lainnya, atau merespon keinginan hawa nafsu dan tuntutan lingkungan dan relasi. Yang melakukan kebaikan atau meninggalkan perbuatan buruk tidak mengharapkan balasan dari sesama manusia, tidak pula menjadikannya sebagai tangga meraih kekuasaan atau karena ingin terkenal. Hal ini dikarenakan balasan yang paling memadai adalah dari Allah, dan kebaikan hendaknya dilakukan semata menggapai ridlo-Nya. Bandingkan dengan sifat terpuji alkarom pada masa Arab Jahiliyah.
2. Al-sholahiyyah al-‘aamah. Kebaikan akhlak Islam bisa dilakukan semua orang di setiap masa dan tempat, dikarenakan; mudah, gampang, tidak rumit, adil, tidak merusak, dan tidak menuntut sesuatu yang tidak mampu dilakukan. Keutamaan yang membuat hati damai dan tentram. Hati nurani menyambutnya, dan akal sehat mendukungnya. Perhatikan Firman Allah: Allah meghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S.al-Baqarah:185) Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S.al-Baqarah:286) Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. (Q.S.al-An’am:152) Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, pada manusia (Q.S.al-Haj:65)
3. Al-Tsabat. Permanen tidak berubah, dikaranakan lahir dari Dzat Yang Maha Tahu tentang manusia.
4. Al-Iljam al-Mustajab. Akhlak Islam memberikan kekuatan untuk dipatuhi dalam berbagai keadaan. Dalam keadaan menyendiri atau banyak orang, dalam keadaan lapang dan sempit. Hal ini dikarenakan yang mengawasinya adalah Alah Yang tidak mengantuk dan tidak tidur, tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi. Semua; dipersembahkan untuk Sang kekasih yang ditaati.

Pada sisi lain, perlu diperhatikan indikator-indikator pendidikan karakter dari penggagas pendidikan karakter itu sendiri. Pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966), -sebagai orang yang mencetuskan pendidikan karakter sebagai reaksi atas kejumudan berbagai teori pedagogi-, mengatakan bahwa ciri dasar pendidikan karakter ada 4 yaitu:
1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.
2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko.
3. Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.













C. OBJEK KAJIAN; LEMBAGA PENDIDIKAN DI JAWA BARAT

Objek kajian ini mengambil tema besar lembaga pendidikan Islam di Jawa Barat. Tentu saja sebagaimana dipaparkan pada bab awal, mengenai absurditas pesantren madrasah. Akhirnya –menurut penulis-, lembaga pendidikan Islam harus “menyerah” dengan memasukkan pola madrasah pada mekanisme pendidikan awalnya, yakni pesantren. Pengambilan data dari objek kajian ini dilakukan akhir tahun 2009 dan awal 2010. Mengenai lembaga pendidikan di Jawa Barat, tentu yang dimaksud tidak mencakup keseluruhan yang ada, akan tetapi yang penulis anggap mewakili tipologi pesantren yang membentuk karakter masyarakat Jawa Barat.

1. Pesantren ar-Riadh, Cianjur
Didirikan oleh K. H. Enoh Muqoddas (alm) pada sekitar tahun 1950-an di daerah Pacet. Awalnya lembaga pendidikan yang didirikannya adalah murni pesantren, akan tetapi lama-kelamaan, dan merupakan bagian dari kontekstualisasi, maka sekarang terdapat 9 unit bentuk pendidikan di bawah yayasan ar-Riadh. Artinya, dikotomisasi pesantren dan madrasah menjadi sangat tipis dalam konteks lembaga pendidikan di Indonesia –walaupun tentu saja kajian sejarahnya memiliki catatan masing-masing-.
Perlu diperhatikan visi misi dari pesantren ini, yakni; Visi; Terwujudnya lulusan yang bermulti kecerdasan, keterampilan hidup dan berakhlakul karimah. Sedangkan misinya, adalah:
a. Menciptakan iklim pembelajaran yang efektif sesuai dengan kompetensi dasar yang telah ditetapkan
b. Menciptakan lingkungan belajar yang berkultur salafi, modernis dalam pemikiran dan santun dalam berperilaku.
c. Menumbuhkembangkan semangat keunggulan, patriotism, nasionalisme, dan religisitas.
d. Mengembangkan pembinaan mutu terhadap seluruh warga pondok dan madrasah.
Penjabaran dari visi misi di atas, terletak pada karakteristik yang dimiliki oleh setiap lembaga pendidikan. Dalam kasus ar-Riadh, Cianjur ini, adalah:
a. Integrasi antara kajian salaf dan khalaf diupayakan semaksimal mungkin.
b. Meminimalisir potensi syahwat, adalah dengan memisahkan proses pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Kecuali pada momentum tertentu disatukan.
c. Disiplin menjadi penting dalam pembentukan akhlak santri.

2. Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya
Didirikan oleh K.H. Choer Affandi (Alm), yang berharap agar pesantren yang dikelolanya dapat mencetak orang-orang yang shaleh dan para ajengan (kyai) yang nantinya dapat memberi bimbingan keagamaan pada masyarakat. K.H. Choer Affandi (Alm) atau yang lebih dikenal dengan uwa ajengan, kerap memimpin senam kesegaran jasmani pada hari Jumat.
Visi dan misi dari pesantren ini adalah menyeru manusia untuk berbuat kebajikan dan melarang dari berbuat kejahatan. Dimana penjabarannya adalah sebagai berikut;
a. Mencetak pribadi muslim yang bertawakkal kepada Allah
b. Mencetak imam al-muttaqin
c. Mencetak ulama al-‘amilin
d. Terampil dalam membangun diri, agar kelak tidak menggantungkan diri pada orang lain.
e. Mencegah adanya manusia jahat yang timbul dari tidak adanya keimanan, karena kebodohan dan kesombongan yang akan merugikan Negara.


Salah satu cara pembentukan akhlak, adalah melalui Tasmida (Tabungan Santri Miftahul Huda) . Uang pemberian orang tua, tidak dapat disimpan oleh santri, akan tetapi disimpan di Tasmida. Pengambilan uang jajan dilakukan per satu minggu, dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing santri yang telah disepakati wali dengan pengurus pesantren.

3. Pesantren Pembangunan Sumur Bandung, Cililin, Bandung
Kehadiran lembaga pendidikan tahun 1972 ini, merupakan keinginan besar dari para founding fathersnya agar para santrinya dapat menjadi penerus ulama. Karenanya, visi pesantren ini, adalah mencetak kader ulama intelek dan intelektual ulama yang senantiasa mencerminkan akhlakul karimah dalam setiap sikap dan perbuatannya.
Seperti halnya absurditas pesantren lainnya di Indonesia, ketidakjelasan apakah pesantren “murni” atau berkolaborasi dengan madrasah dan atau sekolah terjadi juga di pesantren pembangunan Sumur Bandung ini. Walaupun demikian, yang lebih ditekankan adalah eksistensi Sekolah Menengah Aliyah-nya.

4. Pesantren Cipasung, Tasikmalaya
Di kalangan Nahdliyyin Jawa Barat, nama Pesantren Cipasung adalah fenomenal. Pesantren ini didirikan sekitar tahun 1931 oleh K.H. Ruhiyat (alm), pembinaan awalnya adalah generasi muda, yakni dengan dibentuk Madrasah Diniyah dan Kader Mubalig wal Musyawwirin. Fakta ini menunjukkan bahwa founding father dari pesantren ini memiliki pemikiran yang futuristic, bagaimana menyiapkan generasi yang akan datang agar lebih baik pada masanya. Maka, pembinaan generasi muda merupakan pilihan tepat, sehingga pada saat mereka dihadapkan pada problematika dan pilihan hidup yang dilemati, ia dapat bertahan dengan ajeg pada doktrin dan ideologi pesantren.
Kontekstualisasi, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan respons pesantren Cipasung terhadap perubahan zaman. Hal itu dapat dilihat dari berbagai bentuk studi pendidikan yang berlangsung di pesantren tersebut sampai hari ini. Hal itu merupakan wujud dari visi pesantren yakni, dengan iman dan takwa, santri memiliki kecakapan hidup untuk menghadapi tantangan zaman dengan menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.

5. Pesantren al-Jawami, Cileunyi, Bandung
Pesantren Sindangsari, adalah cikal bakal pesantren al-Jawami yang dibangun pada tanggal 03 Mei 1931. Al-Jawami mengandung makna lengkap dan universal. Pendirian pesantren ini lebih banyak dikaitatkan dengan para ulama terkemuka di Jawa Barat, hatta ketua MUI pertama Jawa Barat adalah pendiri pesantren Sindangsari ini, yakni K.H. Muhammad Sudjai’ (alm).
Jika ditilik dari proses awal pembentukan pesantren al-Jawami, maka keterlibatan para alim ulama begitu sangat signifikan. Gaung pesantren ini tentu saja dikarenakan kontribusi mereka, sebab pada masa itu sulit bagi lembaga pendidikan manapun untuk mengekspose diri dengan menggunakan cara-cara advertisement seperti dewasa ini. Hal itu menandakan bahwa perilaku atau tingkah laku yang diimplementasikan para ulama lebih menarik bagi para calon santri, atau bahkan ekpektasi untuk menjadi seperti mereka adalah asa yang tinggi di dalam diri calon santri.






Artinya pembentukan akhlak atau karakter memang dimulai dari figur atau pimpinan lembaga pendidikan. Secara tidak langsung mekanisme itu menjadi model kampanye paling efektif untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang dianggap baik oleh agama, hukum dan adat. Efeknya, hasil dari proses itu akan mengendap dan menjadi khas dalam diri santri-santri tersebut. Maka, sangat wajar jika pada fase selanjutnya ada istilah kultus individu atau bahkan taqlid, karena mereka adalah figur “paripurna” dalam pemahaman santri.























D. PENUTUP : KAJIAN TENTANG PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER

Beberapa masalah yang dihadapi dalam mengimplementasikan pendidikan karakter, adalah;
1. Istilah pendidikan karakter, tidak dikenal secara konstitusional di Negara kita. Yang ada dalam konstruksi tujuan pendidikan nasional adalah pendidikan akhlak (pasal 3 UU SPN No 20/2003). Artinya secara tidak langsung kita harus melacak dengan cermat dan komprehensif mengenai asal usul penggunaan istilah tersebut.
2. Secara ideologis, seperti dalam bukunya Doni Koesoema, istilah karakter nampaknya melupakan bagian Islam. Walaupun masih debatable dan interpretatif, akan tetapi dalam bukunya tersebut jelas menegasikan eksistensi pembentukan kepribadian, karakter, akhlak –atau apapun itu namanya- pada abad keemasan Islam, saat Rasullullah mensyiarkan Islam dengan jargonnya menyempurnakan keutamaan akhlak manusia.
Untuk itu perlu diperhatikan secara mendalam apa yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam (pesantren, madrasah) di Indonesia, Jawa Barat khususnya sehingga, diantaranya;
1. Niat untuk menggulirkan gagasan tersebut, adalah bagian dari ibadah kepada Allah Swt, bukan hanya kamuflase survival semata. Hal ini perlu dielaborasi lebih tajam, sehingga dapat menjiwai seluk beluk yang berkaitan dengan pembinaan karakter (akhlak).
2. Pembentukan karakter dimulai dari keinginan besar para pendiri, founding fathter, pemimpin, lembaga tersebut untuk menghasilkan generasi terbaik pada masanya.
3. Program-program yang dilaksanakan sebagai turunan dari keinginan besar itu harus berbentuk perilaku yang lebih riil, tidak lebih banyak pada kajian-kajian semata, atau dialektika.
4. Figur menjadi entri point penting. Maka, disamping program yang jelas harus disiapkan generasi ke generasi yang memahami benar maksud dari pendidikan karakter (akhlak) yang akan digulirkan. Hal ini untuk meminimalisir deviasi dari tujuan awal yang diharapkan.

Wallahu ‘alam
Permata Biru, 17102010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar